Perjalanan Hidup Filsafat Jawa
Sewelas (ndueni roso welas), yang berakar dari kata welas, adalah lambang kasih. Di usia ini seorang anak mulai menaruh rasa pada orang lain. Ada simpati, ada kekaguman, ada kegugupan kecil yang biasanya disebut jatuh hati pertama kali. Tetapi welas di sini belum matang, masih sekadar percikan. Layaknya bunga yang baru tumbuh, indah dilihat, tetapi mudah layu jika dipetik terlalu cepat. Karena itu sewelas sejatinya bukan waktu untuk berpasangan, melainkan masa untuk belajar mengenal diri.
Memasuki selikur (seneng lingguh kursi), perjalanan jadi lebih rumit. Angka 21 sering dimaknai sebagai fase peralihan, di mana manusia mulai merasa dewasa tapi sebenarnya masih gamang. Di sini roso welas yang dulu ringan bisa berubah jadi hasrat yang lebih serius. Banyak anak muda mulai mencoba hubungan asmara, merasa sudah saatnya memiliki gandengan. Namun dalam pandangan Jawa maupun Islam, masa selikur adalah waktu ngudi kaweruh, mencari ilmu dan menata arah. Hubungan antara lawan jenis yang terlalu dekat di usia ini sering kali lebih banyak menguras energi daripada memberi makna.
Selawe (senenge lanang lan wedok) punya arti yang lebih dalam lagi. Lawe berarti benang, dan selawe menjadi simbol simpul atau ikatan. Usia ini adalah fase ketika orang mulai menenun benang hidupnya, mencari pekerjaan, merintis rumah tangga, menata masa depan. Jika sewelas sampai selikur hanyalah percobaan rasa, maka selawe adalah saat di mana cinta seharusnya menemukan bentuk yang halal. Islam jelas mengajarkan bahwa pernikahan adalah jalan, bukan sesuatu yang hanya mengikat hati tanpa kejelasan.
Belum masanya membangun rumah tangga malah membuat hubungan tanpa kepastian, duit habis, haram pula. Ibarat sudah jatuh, masih pula tertimpa kenyataan bahwa dirinya adalah jodoh orang lain.
Ketika sampai pada seket (seneng ketu-an), manusia diajak menengok hasil. Lima puluh melambangkan pancer, pusat kehidupan yang sudah matang. Di sini seseorang biasanya sudah berkeluarga, beranak-pinak, dan mulai merasakan beban tanggung jawab yang sesungguhnya. Kedekatan dengan lawan jenis bukan lagi soal perasaan, melainkan soal bagaimana menjaga keluarga tetap utuh.
Sewidak akhirnya menjadi fase renungan. Enam puluh bukan lagi waktu mengejar cinta dunia, melainkan menata hati untuk dekat dengan Sang Pencipta. Anak dan cucu mulai mengisi rumah, tetapi jiwa sudah kembali ditarik untuk bersiap pada perjalanan berikutnya. Kedekatan di sini bukan lagi dengan pasangan semata, melainkan dengan Allah yang sejak awal selalu mendampingi.
Dari jalan ini kita bisa melihat jelas, sewelas hingga selawe bukanlah masa untuk membuat hubungan yang tidak jelas. Itu adalah masa menanam, bukan memetik. Masa mengikat ilmu, bukan mengikat asmara. Betapa banyak anak muda yang tergesa, menyangka cinta di bangku sekolah atau awal kuliah adalah segalanya, padahal itu hanya percikan kecil dari roso welas yang belum matang. Dalam laku Jawa, kedewasaan sejati baru tiba ketika benang sudah siap ditenun di usia selawe. Dalam Islam pun begitu, cinta baru menemukan jalannya saat diikat oleh akad.
Demikian, angka hanyalah tanda. Tetapi jika kita mau membaca, ada nasihat yang halus di baliknya. Jangan terburu-buru menyulam benang ketika baru memegang sehelai. Jangan menyangka welas yang masih mentah sudah layak dipeluk erat. Karena setiap fase ada waktunya, dan setiap waktu ada hikmahnya.