Proximity Effect

Table of Contents

Ada hal yang menarik dari cara manusia menjalin hubungan. Sering kali kita merasa dekat bukan karena sesuatu yang besar, melainkan karena kebetulan yang sederhana. Kita duduk di kelas yang sama, melewati koridor yang sama, atau sekadar sering berpapasan di tempat yang sama. Dari situ lahir senyum singkat, lalu obrolan ringan, dan entah bagaimana, hati jadi terasa lebih akrab. Psikologi sosial menyebutnya proximity effect, sebuah kecenderungan manusia untuk merasa terikat karena kedekatan yang berulang.

Penelitian yang dilakukan Festinger dan rekan-rekannya di tahun 1950 pernah menyingkap hal ini dengan jelas. Mereka meneliti mahasiswa yang tinggal di kompleks asrama. Hasilnya menunjukkan bahwa kamar yang berdekatan menghasilkan lebih banyak pertemanan dibanding kamar yang berjauhan. Seakan-akan, sekadar sering bertemu sudah cukup untuk membuat seseorang masuk dalam lingkar hidup kita.

Kalau dipikir-pikir, memang begitu kenyataannya. Wajah yang awalnya asing bisa jadi terasa ramah hanya karena sering terlihat. Percakapan sepele yang berulang bisa menciptakan rasa nyaman. Dari nyaman lahirlah keterikatan, meskipun kita tidak pernah benar-benar merencanakannya. Kedekatan bisa bekerja begitu alami, hampir tanpa disadari.

Namun, kedekatan bukan sesuatu yang netral. Ia bisa menjadi jalan menuju kebaikan, tetapi juga bisa menjadi pintu masalah. Islam sejak awal sudah menegaskan bahwa manusia memang diciptakan untuk saling mengenal. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal. Tetapi dalam soal interaksi lawan jenis, ada batas yang jelas. Kedekatan yang tidak terikat pernikahan sering kali membawa pada hal yang dilarang, meski awalnya terlihat sederhana.

Pacaran misalnya. Banyak yang menganggapnya wajar, bahkan dianggap jalan untuk saling mengenal. Padahal dari sisi psikologi, kedekatan intens antara dua orang yang bukan mahram hampir pasti melahirkan keterikatan emosional. Dan ketika hati sudah terikat, sulit sekali menjaga diri tetap berada dalam koridor yang benar. Nabi pernah mengingatkan bahwa zina tidak hanya soal perbuatan fisik, tetapi bisa juga melalui pandangan, ucapan, bahkan hati. Semua itu sering bermula dari kedekatan yang tidak terjaga.

Tetapi proximity effect bukan hanya soal risiko. Ia juga bisa menjadi ladang kebaikan. Kedekatan dengan orang-orang saleh membuat kita lebih mudah tertular kebaikan mereka. Dekat dengan keluarga bisa mempererat kasih sayang. Dekat dengan guru dan sahabat yang bijak bisa memperkuat iman. Kedekatan seperti ini justru menjadi jalan yang memperindah hidup.

Sebaliknya, jika kedekatan kita salah arah, dampaknya juga tidak kecil. Banyak orang yang awalnya hanya merasa “sekadar dekat” dengan seseorang, lalu tanpa sadar terjebak dalam hubungan yang menguras waktu, melemahkan semangat, bahkan merusak ibadah. Semua berawal dari sesuatu yang tampak sederhana, tetapi lama-lama berkembang menjadi masalah yang sulit dilepaskan.

Pada akhirnya, proximity effect mengingatkan kita bahwa manusia mudah sekali terikat dengan siapa pun yang dibiarkan sering hadir dalam hidupnya. Ilmu menjelaskan mekanismenya, agama memberi arah agar tidak salah melangkah. Pilihannya ada pada kita, apakah ingin dekat dengan orang yang membawa kita semakin ingat pada Allah, atau justru dengan orang yang menjauhkan kita dari-Nya. 

Kedekatan yang paling indah bukanlah dengan seseorang yang sering kita jumpai, melainkan dengan Dia yang tidak pernah meninggalkan kita sedetik pun.